Berbicara tentang asal usul bahasa, kita berhadapan dengan suatu aspek kajian yang paling banyak dipertentangkan. Hasil Studi yg selama ini dikembangkan untuk dapat melacak secara tepat bagaimana sesungguhnya asal-usul bahasa, belum ada yang memuaskan. Karena itu, di antara para penyelidik tentang genealogi keberbahasaan manusia, masih sulit untuk dicapai kesepakatan tunggal yg bersifat final.
Begitu muncul pertanyaan “Bagaimana Mulanya bahasa itu Lahir?”.
Kita akan bersinggungan dengan banyak teori yg saling kontradiktif. Masing – masing teori mencoba menjelaskan secara spesifik tentang asal bahasa. Beberapa teori dan pendapat itu memilih jawaban yg beragam. Ada yg cukup ilmiah dan rasional, ada pula yg terkesan lucu, bahkan kadang terasa aneh dan tak masuk akal.
Bahkan karena terlalu sulitnya sumber-sumber yg bisa menjelaskan secara akurat tentang asal-usul bahasa, pada tahun 1866 masyarakat linguis Perancis sempat melarang mendiskusikan subjek tersebut, karena hal itu dianggap hanya spekulasi yg sama sekali tidak berarti. Membicarakan asal bahasa, menurut mereka sebuah pertentangan yg sia-sia.
Penyelidikan Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif menyakini tentang adanya keterlibatan Dewa atau Tuhan dalam permulaan sejarah berbahasa mereka. Menurut mereka, Tuhanlah yg mengajarkan Nabi Adam nama-nama benda, sebagaimana termaktub dalam kita kejadian sebagai berikut :
“ And the Lord God having formed out of the ground all the beasts of the earth, and all the fowls of the air, brought them to Adam to see what be wold call them ; for whatsoever Adam called any living creature the same is its name.”
Dikatakan pula bahwa manusia diciptakan secara stimulan. Pada penciptaan ini, manusia dikaruniai kemampuan berbahasa sebagai anugerah Illahi. Konon di Surga Tuhan berdialog dengan Nabi Adam dalam bahasa Yahudi. Sebelum abad ke-18 teori – teori asal bahasa yg semacam ini dikategorikan sebagai divine origin (berdasarkan kepercayaan).
Pada abad ke-17, Andeas Kemke, seorang ahli filologi dari Swedia menyatakan bahwa di surga Tuhan berbicara dalam bahasa Swedia. Menurutnya, Nabi Adam berbahasa Denmark, sedangkan naga berbicara dengan bahasa Perancis.
Selain berbagai mitos muasal bahasa yg berkembang di Barat, di Timur hal semacam itu juga bermunculan.
Mesir misalnya, punya legenda berkenaan dengan asal-usul bahasa. Konon, pada abad ke-17 SM, Raja Mesir, Psammetichus, mengadakan penyelidikjan tentang bahasa pertama. Menurut sang Raja kalau seorang bayi dibiarkan semenjak lahir tanpa diperdengarkan dan diperkenalkan terhadap bahasa apapun, maka ia akan tumbuh dan berbicara menggunakan “bahasa asal”.
Untuk melaksanakan penyelidikan tersebut diambillah dua orang bayi dari keluarga biasa, dan diserahkan kepada seorang pengembala untuk kemudian dirawatnya. Gembala tersebut dilarang berbicara sepatah kata pun kepada bayi-bayi tersebut. Setelah sang bayi berusia dua tahun, mereka dengan spontan menyambut si gembala dengan kata, “BECOS”. Segera si penggembala tadi menghadap Sri Baginda dan diceritakannya hal tersebut.
Psammetichus segera menelitinya dan berkonsultasi dengan para penasehatnya. Menurut mereka, “BECOS” berarti Roti dalam bahasa Phyrgia (bahasa Mesir kuno); Dan inilah bahasa pertama manusia menurut mereka.
Cerita ini dikisahkan turun temurun, bahwa bahasa pertama manusia adalah bahasa Mesir.
Di Asia, tepatnya di China, Mitos tentang asal-usul bahasa juga berkembang. Kaisar Cina Tien-Tzu, dipercaya sebagai anak Tuhan. Konon dialah yg mengajarkan bahasa pertama kepada manusia. Ada juga versi lain yg tak kalah menggemaskan, bahwa yg membawa bahasa (tulisan) kepada orang-orang Cina adalah seekor kura-kura yg diutus langsung oleh Tuhan.
Di Jepang bahasa pertama pun dihubungkan dengan Tuhan mereka, Amaterasu. Orang-orang Babilonia percaya bahwa bahasa pertama berasal dari Tuhan mereka, Nabu. Brahmana mengajarkan tulis-menulis kepada ras Hindu di India sana. Dan masih banyak cerita-cerita yg bernada sama dengan berbagai kebudayaan dahulu dan berkembang di banyak kebudayaan kelompok tertentu.
Baru pada bagian akhir abad ke-18 spekulasi asal – usul bahasa berpindah dari wawasan keagamaan, mistik, takhayul ke alam paradigma pengetahuan baru yg disebut “ORGANIC PHASE” ( fase organik). Pada fase ini, pergeseran paradigmatik dalam memahami asal – usul bahasa dimulai dengan terbitnya “UBER DEN ORGANIC PHASE” (dalam terjemahan bahasa inggris : “ON THE ORIGIN OF LANGUAGE) Pada tahun 1772, ditulis oleh Johann Gottfried Von Herder (1744-1803).
Ia mengemukakan bahwa tidaklah tepat dikatakan bahwa bahasa merupakan anugerah Illahi. Menurut Von Herder bahasa lahir karena dorongan manusia untuk mencoba – coba berfikir. Bahasa adalah akibat hentakan dari suatu kehendak yg bekerja secara insingtif, seperti halnya janin dalam proses kelahiran. Teori ini bersamaan dengan mulai timbulnya teori EVOLUSI manusia yg diprakarsai oleh Immanuel Kant (1724-1804) yg kemudian disusul oleh Charles Darwin.
Menurut Darwin (1809-1882) dalam “DESCENT MAN” (1871), kualitas bahasa manusia dengan bahasa binatang hanya berbeda dalam tingakatannya saja. Kalau pun ada perbedaan barangkali hanya dari ekspresi emosinya saja.
Sebagai contoh, perasaan jengkel atau jijik terlahirkan dengan mengeluarkan udara dari hidung dan mulut, terdengar seperti bunyi “POOH” atau “PISH”. Ekspresi kejengkelan semacam ini, kata Darwin dimiliki manusia sekaligus binatang.
Namun Mark Muller (1823-1900) ahli filologi dari Jerman tidak sependapat dengan Darwin. Muller meledek teori ini, menyebutnya sebagai “POOH-POHH THEORY”. Teori Darwin ini juga tidak disetujui oleh para sarjana berikutnya seperti Edward Sapir (1884-1939) dari Amerika.
Mark Muller kemudian memperkenalkan “DINGDONG THEORY” atau disebut juga “NATIVISTIK THEORY”. Dalam beberapa hal teori ini sedikit sejalan dengan apa yg di ajukan Socrates. “Bahwa bahasa lahir secara alamiah dan ilmiah”.
Menurut teori ini, manusia mempunyai kemampuan insting yg istimewa untuk mengeluarkan eksperi ujaran untuk setiap kesan yg ditemuinya sebagai stimulus dari luar. Kesan yg diterima lewat indra, bagaikan pukulan pada bel hingga mengeluarkan ucapan yg sesuai. Menurut Muller, kurang lebih ada empat ratus bunyi pokok yg membentuk bahasa pertama ini. Sewaktu orang primitif dulu melihat seekor srigala, pandangan ini menggetarkan bel yg ada pada dirinya secara insting sehingga terucap kata “WOLF” (serigala).
Tapi teori ini menyuguhkan suatu kesangsian ketika menemukan fakta bahwa ternyata bahasa manusia itu beragam, jika bahasa memang terbentuk secara natural sebagaimana bel, kenapa bahasa manusia menjadi tidak sama? Pada akhirnya, Muller menolak teorinya sendiri.
Teori lainnya disebut “YP-HE-HO THEORY”.
Teori ini menyimpulkan bahwa bahasa primitif dulu merupakan rangkaian bekerja sama. Kita pun mengalami kerja serupa, misalnya sewaktu mengangkat kayu kita secara spontan dan bersamaan mengeluarkan ucapan-ucapan tertentu. Karena dorongan tekanan otot muncullah kata tertentu yg kemudian lahir sebagai sebuah bahasa ungkap. Demikian juga yg terjadi dengan orang-orang zaman dahulu. Sewaktu bekerja tadi, pita suara mereka bergetar sehingga terlahirlah ucapan-ucapan khusus untuk setiap tindakan mereka. Ucapan – ucapan tadi lalu menjadi nama untuk pekerjaan itu seperti “HEAVE” (angkat), “REST” (diam) dan sebagainya.
Dari sekian teori dengan subjek yg sama, satu-satunya yg agak bertahan adalah “BOW-WOW THEORY”.
Teori ini juga disebut “ONOMATOPOETIC” atau ECHOIC THEORY”. Menurut teori ini, kata-kata yg pertama kali muncul adalah tiruan terhadap suara alam, seperti guntur, hujan, angin, sungai, ombak samudra dan lainnya. Mark Muller dengan sarkastis mengomentari teori ini dengan mengatakan bahwa teori ini hanya berlaku pada kokok ayam dan bunyi itik, padahal, kata Muller, kegiatan bahasa justru lebih banyak terjadi diluar kandang ternak.
Akhirnya, bagaimana pun sedikitnya presentase kata-kata tersebut, kita tidak bisa mengingkari adanya bahasa-bahasa semacam itu. Dalam bahasa inggris ada kata-kata “BABLE”, RATTLE, BISS, CUCKOO, dan sebagainya. Kosa kata dalam bahasa Indonesia juga memiliki kata-kata sepeti itu, Menggelegar, Bergetar, Mendesir, mencicit, Berkokok, dan sebagainya.
Teori yg lain adalah “GESTURE THEORY”.
Yg mengatakan bahwa isyarat mendahului ujaran. Para pendukung teori ini menunjukkan penggunaan isyarat oleh berbagai binatang, dan juga sistem isyarat yg dipakai oleh orang-orang primitif. Salahs atu contoh adalah bahasa isyarat yg dipakai suku Indian di Amerika Utara. Sewaktu berkomunikasi dengan suku-suku lain yg tidak sebahasa mereka menggunakan isyarat sebagai bentuk aksi dan kehendak mereka.
Beberapa teori mengenai Asal – Usul bahasa yg telah disebutkan tadi, termasuk dalam kategori teori- teori tradisional. Dalam perkembangan pengetahuan modern, bahasa kemudian menjadi objek kajian yg sangat penting dan kompleks. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai suatu gejala fisik semata, melainkan juga mengandung aktivitas psikologis.
Manusia itu tercipta dengan perlengkapan fisik yg sangat sempurna hingga memungkinkan terjadinya ujaran (kemampuan berbahasa). Namun ujaran, faktor-faktor psikologis pun terlibat. Sebagai contoh, cobalah bayangkan satu telaga yg dikelilingi pepohonan rindang yg didiami banyak burung dan margasatwa lainnya. Tempat yg digambarkan ini akan berbeda antara satu dengan yg lain. Mungkin anda akan mengatakan bahwa telaga tadi sangat berbahaya dan menakutkan. Pusaran airnya bisa menenggelamkan siapa saja. Namun bagi yg lain, telaga ini bisa menjadi sumber kehidupan. Mungkin anda membayangkan di sana akan terdapat banyak ikan segar. Tentu amat menguntungkan. Bagi yg lain, sungai ini bisa menjadi sumber ilham, tempat beristirahat, melemaskan otot-otot sambil menunggu kejatuhan inspirasi.
Dari gambaran ini ternyata ada kesan psikologis yg berbeda. Kesan-kesan ini mesti diucapkan oleh masing-masing dengan ujaran yg pas. Dengan kata lain, kesan-kesan ini mesti diungkapkan dengan vokal, hingga terucapkan kata-kata. Sebagai umpama misalnya dari gambaran sungai tadi akan muncul kata-kata sepeti ; bahaya, ngeri , dalam, dingin, menenggelamkan, hanyut, arus dan sebagainya.
Dari contoh yg menjelaskan salah satu fungsi dan posisi bahasa ini, maka West menyimpulkan :
“SPEECH, AS LANGUAGE, IS THE RESULT OG MAN`S ABILITY TO SEE PHENOMENA SYMBOLICALLY AND OF THE NECESSITY TO EXPRESS HIS SYMBOLS”.
--Ujaran, seperti halnya bahasa, adalah hasil kemampuan manusia untuk melihat gejala-gejala sebagai simbol-simbol dan keinginannya untuk mengekspresikan simbol-simbol itu--.
Pada masa sekarang ini para ahli atropologi umumnya menyimpulkan bahwa manusia dan bahasa berkembang bersama. Manusia telah jadi penghuni kurang lebih satu juta tahun lamanya. Faktor-faktor yg mempengaruhi perkembangannya menjadi Homo Sapien juga mempengaruhi perkembangan bahasanya.
Bentuk tubuh yg tegak, mata yg berbentuk stereoskopis dan celebra cortex yg tidak ada pada hewan lain, telah banyak membantu evolusi manusia. Perkembangan otaknya merubah dia dari setengah manusia menjadi manusia sesungguhnya. Mereka kini mempunyai kemampuan untuk menemukan dan mempergunakan alat-alat dan menemukan metode interaksi yg luar biasa, yakni BAHASA.
Ada juga para ahli yg mengatakan bahwa perkembangan bahasa manusia sama seperti halnya perkembangan bahasa bayi yg sedang tumbuh besar.
Otto Jespersen (1860-1943) melihat adanya persamaan antara bahasa bayi dan manusia. Bahasa manusia pertama hampir tidak mempunyai arti, bentuknya hanya seperti lagu saja, sebagaimana ucapa-ucapan bayi. Seiring waktu, ucapan-ucapan tadi menjadi berkembang menuju tahap yg lebih sempurna.
Begitu muncul pertanyaan “Bagaimana Mulanya bahasa itu Lahir?”.
Kita akan bersinggungan dengan banyak teori yg saling kontradiktif. Masing – masing teori mencoba menjelaskan secara spesifik tentang asal bahasa. Beberapa teori dan pendapat itu memilih jawaban yg beragam. Ada yg cukup ilmiah dan rasional, ada pula yg terkesan lucu, bahkan kadang terasa aneh dan tak masuk akal.
Bahkan karena terlalu sulitnya sumber-sumber yg bisa menjelaskan secara akurat tentang asal-usul bahasa, pada tahun 1866 masyarakat linguis Perancis sempat melarang mendiskusikan subjek tersebut, karena hal itu dianggap hanya spekulasi yg sama sekali tidak berarti. Membicarakan asal bahasa, menurut mereka sebuah pertentangan yg sia-sia.
Penyelidikan Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif menyakini tentang adanya keterlibatan Dewa atau Tuhan dalam permulaan sejarah berbahasa mereka. Menurut mereka, Tuhanlah yg mengajarkan Nabi Adam nama-nama benda, sebagaimana termaktub dalam kita kejadian sebagai berikut :
“ And the Lord God having formed out of the ground all the beasts of the earth, and all the fowls of the air, brought them to Adam to see what be wold call them ; for whatsoever Adam called any living creature the same is its name.”
Dikatakan pula bahwa manusia diciptakan secara stimulan. Pada penciptaan ini, manusia dikaruniai kemampuan berbahasa sebagai anugerah Illahi. Konon di Surga Tuhan berdialog dengan Nabi Adam dalam bahasa Yahudi. Sebelum abad ke-18 teori – teori asal bahasa yg semacam ini dikategorikan sebagai divine origin (berdasarkan kepercayaan).
Pada abad ke-17, Andeas Kemke, seorang ahli filologi dari Swedia menyatakan bahwa di surga Tuhan berbicara dalam bahasa Swedia. Menurutnya, Nabi Adam berbahasa Denmark, sedangkan naga berbicara dengan bahasa Perancis.
Selain berbagai mitos muasal bahasa yg berkembang di Barat, di Timur hal semacam itu juga bermunculan.
Mesir misalnya, punya legenda berkenaan dengan asal-usul bahasa. Konon, pada abad ke-17 SM, Raja Mesir, Psammetichus, mengadakan penyelidikjan tentang bahasa pertama. Menurut sang Raja kalau seorang bayi dibiarkan semenjak lahir tanpa diperdengarkan dan diperkenalkan terhadap bahasa apapun, maka ia akan tumbuh dan berbicara menggunakan “bahasa asal”.
Untuk melaksanakan penyelidikan tersebut diambillah dua orang bayi dari keluarga biasa, dan diserahkan kepada seorang pengembala untuk kemudian dirawatnya. Gembala tersebut dilarang berbicara sepatah kata pun kepada bayi-bayi tersebut. Setelah sang bayi berusia dua tahun, mereka dengan spontan menyambut si gembala dengan kata, “BECOS”. Segera si penggembala tadi menghadap Sri Baginda dan diceritakannya hal tersebut.
Psammetichus segera menelitinya dan berkonsultasi dengan para penasehatnya. Menurut mereka, “BECOS” berarti Roti dalam bahasa Phyrgia (bahasa Mesir kuno); Dan inilah bahasa pertama manusia menurut mereka.
Cerita ini dikisahkan turun temurun, bahwa bahasa pertama manusia adalah bahasa Mesir.
Di Asia, tepatnya di China, Mitos tentang asal-usul bahasa juga berkembang. Kaisar Cina Tien-Tzu, dipercaya sebagai anak Tuhan. Konon dialah yg mengajarkan bahasa pertama kepada manusia. Ada juga versi lain yg tak kalah menggemaskan, bahwa yg membawa bahasa (tulisan) kepada orang-orang Cina adalah seekor kura-kura yg diutus langsung oleh Tuhan.
Di Jepang bahasa pertama pun dihubungkan dengan Tuhan mereka, Amaterasu. Orang-orang Babilonia percaya bahwa bahasa pertama berasal dari Tuhan mereka, Nabu. Brahmana mengajarkan tulis-menulis kepada ras Hindu di India sana. Dan masih banyak cerita-cerita yg bernada sama dengan berbagai kebudayaan dahulu dan berkembang di banyak kebudayaan kelompok tertentu.
Baru pada bagian akhir abad ke-18 spekulasi asal – usul bahasa berpindah dari wawasan keagamaan, mistik, takhayul ke alam paradigma pengetahuan baru yg disebut “ORGANIC PHASE” ( fase organik). Pada fase ini, pergeseran paradigmatik dalam memahami asal – usul bahasa dimulai dengan terbitnya “UBER DEN ORGANIC PHASE” (dalam terjemahan bahasa inggris : “ON THE ORIGIN OF LANGUAGE) Pada tahun 1772, ditulis oleh Johann Gottfried Von Herder (1744-1803).
Ia mengemukakan bahwa tidaklah tepat dikatakan bahwa bahasa merupakan anugerah Illahi. Menurut Von Herder bahasa lahir karena dorongan manusia untuk mencoba – coba berfikir. Bahasa adalah akibat hentakan dari suatu kehendak yg bekerja secara insingtif, seperti halnya janin dalam proses kelahiran. Teori ini bersamaan dengan mulai timbulnya teori EVOLUSI manusia yg diprakarsai oleh Immanuel Kant (1724-1804) yg kemudian disusul oleh Charles Darwin.
Menurut Darwin (1809-1882) dalam “DESCENT MAN” (1871), kualitas bahasa manusia dengan bahasa binatang hanya berbeda dalam tingakatannya saja. Kalau pun ada perbedaan barangkali hanya dari ekspresi emosinya saja.
Sebagai contoh, perasaan jengkel atau jijik terlahirkan dengan mengeluarkan udara dari hidung dan mulut, terdengar seperti bunyi “POOH” atau “PISH”. Ekspresi kejengkelan semacam ini, kata Darwin dimiliki manusia sekaligus binatang.
Namun Mark Muller (1823-1900) ahli filologi dari Jerman tidak sependapat dengan Darwin. Muller meledek teori ini, menyebutnya sebagai “POOH-POHH THEORY”. Teori Darwin ini juga tidak disetujui oleh para sarjana berikutnya seperti Edward Sapir (1884-1939) dari Amerika.
Mark Muller kemudian memperkenalkan “DINGDONG THEORY” atau disebut juga “NATIVISTIK THEORY”. Dalam beberapa hal teori ini sedikit sejalan dengan apa yg di ajukan Socrates. “Bahwa bahasa lahir secara alamiah dan ilmiah”.
Menurut teori ini, manusia mempunyai kemampuan insting yg istimewa untuk mengeluarkan eksperi ujaran untuk setiap kesan yg ditemuinya sebagai stimulus dari luar. Kesan yg diterima lewat indra, bagaikan pukulan pada bel hingga mengeluarkan ucapan yg sesuai. Menurut Muller, kurang lebih ada empat ratus bunyi pokok yg membentuk bahasa pertama ini. Sewaktu orang primitif dulu melihat seekor srigala, pandangan ini menggetarkan bel yg ada pada dirinya secara insting sehingga terucap kata “WOLF” (serigala).
Tapi teori ini menyuguhkan suatu kesangsian ketika menemukan fakta bahwa ternyata bahasa manusia itu beragam, jika bahasa memang terbentuk secara natural sebagaimana bel, kenapa bahasa manusia menjadi tidak sama? Pada akhirnya, Muller menolak teorinya sendiri.
Teori lainnya disebut “YP-HE-HO THEORY”.
Teori ini menyimpulkan bahwa bahasa primitif dulu merupakan rangkaian bekerja sama. Kita pun mengalami kerja serupa, misalnya sewaktu mengangkat kayu kita secara spontan dan bersamaan mengeluarkan ucapan-ucapan tertentu. Karena dorongan tekanan otot muncullah kata tertentu yg kemudian lahir sebagai sebuah bahasa ungkap. Demikian juga yg terjadi dengan orang-orang zaman dahulu. Sewaktu bekerja tadi, pita suara mereka bergetar sehingga terlahirlah ucapan-ucapan khusus untuk setiap tindakan mereka. Ucapan – ucapan tadi lalu menjadi nama untuk pekerjaan itu seperti “HEAVE” (angkat), “REST” (diam) dan sebagainya.
Dari sekian teori dengan subjek yg sama, satu-satunya yg agak bertahan adalah “BOW-WOW THEORY”.
Teori ini juga disebut “ONOMATOPOETIC” atau ECHOIC THEORY”. Menurut teori ini, kata-kata yg pertama kali muncul adalah tiruan terhadap suara alam, seperti guntur, hujan, angin, sungai, ombak samudra dan lainnya. Mark Muller dengan sarkastis mengomentari teori ini dengan mengatakan bahwa teori ini hanya berlaku pada kokok ayam dan bunyi itik, padahal, kata Muller, kegiatan bahasa justru lebih banyak terjadi diluar kandang ternak.
Akhirnya, bagaimana pun sedikitnya presentase kata-kata tersebut, kita tidak bisa mengingkari adanya bahasa-bahasa semacam itu. Dalam bahasa inggris ada kata-kata “BABLE”, RATTLE, BISS, CUCKOO, dan sebagainya. Kosa kata dalam bahasa Indonesia juga memiliki kata-kata sepeti itu, Menggelegar, Bergetar, Mendesir, mencicit, Berkokok, dan sebagainya.
Teori yg lain adalah “GESTURE THEORY”.
Yg mengatakan bahwa isyarat mendahului ujaran. Para pendukung teori ini menunjukkan penggunaan isyarat oleh berbagai binatang, dan juga sistem isyarat yg dipakai oleh orang-orang primitif. Salahs atu contoh adalah bahasa isyarat yg dipakai suku Indian di Amerika Utara. Sewaktu berkomunikasi dengan suku-suku lain yg tidak sebahasa mereka menggunakan isyarat sebagai bentuk aksi dan kehendak mereka.
Beberapa teori mengenai Asal – Usul bahasa yg telah disebutkan tadi, termasuk dalam kategori teori- teori tradisional. Dalam perkembangan pengetahuan modern, bahasa kemudian menjadi objek kajian yg sangat penting dan kompleks. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai suatu gejala fisik semata, melainkan juga mengandung aktivitas psikologis.
Manusia itu tercipta dengan perlengkapan fisik yg sangat sempurna hingga memungkinkan terjadinya ujaran (kemampuan berbahasa). Namun ujaran, faktor-faktor psikologis pun terlibat. Sebagai contoh, cobalah bayangkan satu telaga yg dikelilingi pepohonan rindang yg didiami banyak burung dan margasatwa lainnya. Tempat yg digambarkan ini akan berbeda antara satu dengan yg lain. Mungkin anda akan mengatakan bahwa telaga tadi sangat berbahaya dan menakutkan. Pusaran airnya bisa menenggelamkan siapa saja. Namun bagi yg lain, telaga ini bisa menjadi sumber kehidupan. Mungkin anda membayangkan di sana akan terdapat banyak ikan segar. Tentu amat menguntungkan. Bagi yg lain, sungai ini bisa menjadi sumber ilham, tempat beristirahat, melemaskan otot-otot sambil menunggu kejatuhan inspirasi.
Dari gambaran ini ternyata ada kesan psikologis yg berbeda. Kesan-kesan ini mesti diucapkan oleh masing-masing dengan ujaran yg pas. Dengan kata lain, kesan-kesan ini mesti diungkapkan dengan vokal, hingga terucapkan kata-kata. Sebagai umpama misalnya dari gambaran sungai tadi akan muncul kata-kata sepeti ; bahaya, ngeri , dalam, dingin, menenggelamkan, hanyut, arus dan sebagainya.
Dari contoh yg menjelaskan salah satu fungsi dan posisi bahasa ini, maka West menyimpulkan :
“SPEECH, AS LANGUAGE, IS THE RESULT OG MAN`S ABILITY TO SEE PHENOMENA SYMBOLICALLY AND OF THE NECESSITY TO EXPRESS HIS SYMBOLS”.
--Ujaran, seperti halnya bahasa, adalah hasil kemampuan manusia untuk melihat gejala-gejala sebagai simbol-simbol dan keinginannya untuk mengekspresikan simbol-simbol itu--.
Pada masa sekarang ini para ahli atropologi umumnya menyimpulkan bahwa manusia dan bahasa berkembang bersama. Manusia telah jadi penghuni kurang lebih satu juta tahun lamanya. Faktor-faktor yg mempengaruhi perkembangannya menjadi Homo Sapien juga mempengaruhi perkembangan bahasanya.
Bentuk tubuh yg tegak, mata yg berbentuk stereoskopis dan celebra cortex yg tidak ada pada hewan lain, telah banyak membantu evolusi manusia. Perkembangan otaknya merubah dia dari setengah manusia menjadi manusia sesungguhnya. Mereka kini mempunyai kemampuan untuk menemukan dan mempergunakan alat-alat dan menemukan metode interaksi yg luar biasa, yakni BAHASA.
Ada juga para ahli yg mengatakan bahwa perkembangan bahasa manusia sama seperti halnya perkembangan bahasa bayi yg sedang tumbuh besar.
Otto Jespersen (1860-1943) melihat adanya persamaan antara bahasa bayi dan manusia. Bahasa manusia pertama hampir tidak mempunyai arti, bentuknya hanya seperti lagu saja, sebagaimana ucapa-ucapan bayi. Seiring waktu, ucapan-ucapan tadi menjadi berkembang menuju tahap yg lebih sempurna.
Namun demikian ada pertanyaan lain yg berkembang dan menjadi perdebatan pada saat ini, yaitu ;
“Apakah bahasa itu lahir karena keinginan manusia untuk berkomunikasi denga kelompoknya atau karena dorongan individu, yaitu faktor psikologis sebagaimana dijelaskan diatas?
Apakah bahasa yg lebih dulu ada atau masyarakatnya?
Kalau mereka tidak hidup dalam masyarakat, maka bahasa tidak akan pernah lahir, tapi bagaimana hidup tanpa Bahasa?
Akhirnya pertanyaan ini pun berubah menjadi seperti pertanyaan Klasik layaknya TELUR DAN AYAM.
So, tak ada yg tahu pasti Asal – Usul Bahasa Pertama yg dipake Oleh Manusia. Hany Tuhan dan Sejarahnya yg Tahu pasti.
“Apakah bahasa itu lahir karena keinginan manusia untuk berkomunikasi denga kelompoknya atau karena dorongan individu, yaitu faktor psikologis sebagaimana dijelaskan diatas?
Apakah bahasa yg lebih dulu ada atau masyarakatnya?
Kalau mereka tidak hidup dalam masyarakat, maka bahasa tidak akan pernah lahir, tapi bagaimana hidup tanpa Bahasa?
Akhirnya pertanyaan ini pun berubah menjadi seperti pertanyaan Klasik layaknya TELUR DAN AYAM.
So, tak ada yg tahu pasti Asal – Usul Bahasa Pertama yg dipake Oleh Manusia. Hany Tuhan dan Sejarahnya yg Tahu pasti.
Salam Playwebstar
0 komentar:
Posting Komentar